Berita: Kreditur Harus Ajukan Permohonan ke Pengadilan Sebelum Eksekusi Jaminan Fidusia
Kreditur Harus Ajukan Permohonan ke Pengadilan Sebelum Eksekusi Jaminan Fidusia
Selasa, 07 Januari 2020 | 09:16 WIB
Sidang Pengucapan Putusan Perkara Pengujian UU Jaminan Fidusia (UUJF), Senin (6/1) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto Humas/Gani. |
JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi menyatakan eksekusi jaminan fidusia tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur), melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri. Demikian ucap Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam Sidang Pengucapan Putusan Nomor 18/PUU-XVII/2019 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF) di Ruang Sidang Pleno MK pada Senin (6/1/2020). Permohonan ini diajukan oleh Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo. Para Pemohon mendalilkan Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUJF bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Lebih lanjut, Suhartoyo menyebutkan tata cara pelaksanaan eksekusi
dan waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji”. Hal ini
sering menimbulkan adanya perbuatan paksaan dan kekerasan dari orang yang
mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pinjaman utang debitur.
Bahkan dapat juga melahirkan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh
penerima fidusia (kreditur). Sehingga, hal ini jelas merupakan bukti adanya
persoalan inkonstitusionalitas dalam norma yang diatur dalam UUJF.
Sebab, sambung Suhartoyo, kalaupun sertifikat fidusia mempunyai
titel eksekutorial yang memberikan arti dapat dilaksanakan sebagaimana sebuah
putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, tetapi prosedur eksekusi
terhadap sertifikat fidusia harus tetap mengikuti tata cara pelaksanaan
eksekusi yang harus melalui pengajuan permohonan ke pengadilan negeri.
Suhartoyo menguraikan bahwa hal tersebut tidak bermaksud
mengabaikan karakteristik fidusia yang memberikan hak secara kebendaan pada
kreditur, melainkan demi memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan antara
pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima fidusia (kreditur) serta untuk
menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi.
“Mahkamah berpendapat kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh
kreditur tetap dapat melekat, sepanjang tidak terdapat permasalahan dengan
kepastian waktu perihal kapan debitur telah “cidera janji” dan debitur secara
suka rela menyerahkan benda yang menjadi objek dari perjanjian fidusia kepada
kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri,” ucap Suhartoyo dalam sidang yang
dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.
Konstitusional Bersyarat
Berikutnya, Mahkamah menyatakan bahwa norma Pasal 15 ayat (2)
UUJF, khususnya frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”, hanya dapat dikatakan konstitusional
sepanjang dimaknai bahwa “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan
tentang telah terjadinya “cidera janji”. Namun apabila debitur keberatan
menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala
mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan
Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.
Sementara itu, terhadap norma Pasal 15 ayat (3) UUJF khususnya
frasa “cidera janji” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai
bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur
melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar
upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.
Apabila debitur telah mengakui adanya “cidera janji” dan dengan
sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusianya, maka
menjadi kewenangan penuh bagi kreditur untuk dapat melakukan eksekusi sendiri.
Tetapi jika debitur tidak mengakui adanya “cidera janji” dan keberatan untuk
menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia,
maka kreditur tidak boleh melakukan eksekusi sendiri. Melainkan harus
mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi pada pengadilan negeri. Sehingga,
hak konstitusionalitas debitur dan kreditur terlindungi secara seimbang.
“Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon
beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ucap Suhartoyo.
Perlu diketahui, dalam kasus konkret Pemohon telah mengalami
tindakan pengambilan paksa mobil Toyota Alphard V Model 2.4 A/T 2004 oleh PT
Astra Sedaya Finance (PT ASF). Sebelumnya, Pemohon telah melakukan Perjanjian
Pembiayaan Multiguna atas penyediaan dana pembelian satu unit mobil mewah
tersebut. Sesuai perjanjian yang telah disepakati, Pemohon berkewajiban
membayar utang kepada PT ASF senilai Rp222.696.000 dengan cicilan selama 35
bulan terhitung sejak 18 November 2016. Selama 18 November 2016 - 18 Juli 2017
Pemohon telah membayarkan angsuran secara taat. Namun, pada 10 November 2017,
PT ASF mengirim perwakilan untuk mengambil kendaraan Pemohon dengan dalil
wanprestasi. Atas perlakuan tersebut Pemohon mengajukan surat pengaduan atas
tindakan yang dilakukan perwakilan PT ASF. Namun tidak ditanggapi hingga pada
beberapa perlakuan tidak menyenangkan selanjutnya.
Menerima perlakuan tersebut, Pemohon berupaya mengambil langkah
hukum dengan mengajukan perkara ke Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan pada 24
April 2018 dengan gugatan perbuatan melawan hukum dengan nomor registrasi
perkara 345/PDT.G/2018/PN.jkt.Sel. Pengadilan pun mengabulkan gugatan Pemohon dengan
menyatakan PT ASF telah melakukan perbuatan melawan hukum. Namun pada 11
Januari 2018, PT ASF kembali melakukan penarikan paksa kendaraan Pemohon dengan
disaksikan pihak kepolisian. Atas perlakuan paksa tersebut, Pemohon menilai PT
ASF telah berlindung di balik pasal yang diujikan pada perkara tersebut.
Padahal lagi, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut berkedudukan
lebih tinggi dari UU tersebut. Dengan demikian, para Pemohon pun berpendapat
bahwa tidak ada alasan paksa yuridis apapun bagi pihak PT ASF untuk melakukan
tindakan paksa termasuk atas dasar Pasal tersebut.
(Sri Pujianti/NRA).
GoogleKeyWords: pengacara kredit macet di medan, pengacara perbankan di medan, pengacara kredit bermasalah di medan, pengacara PKPU di medan, pengacara bisnis di medan, pengacara jaminan fidusia di medan, pengacara property di medan.