Pembatalan perjanjian sepihak [Yurisprudensi Mahkamah Agung]
Mahkamah Agung Republik Indonesi pada tahun 2018 melalui Pokja Yurisprudensi telah menyusun YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG TAHUN 2018 yang diterbitkan oleh Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung.
Salah satu Yurisprudensi yang menarik adalah Yurisprudensi Nomor: 4/Yur/Pdt/2018, ini terkait dengan banyaknya pertanyaan yang diterima oleh advokatmedan.com terkait dengan pembatalan perjanjian sepihak.
Yurisprudensi Nomor 4/Yur/Pdt/2018
Kaidah Hukum: Pemutusan perjanjian secara sepihak termasuk dalam perbuatan melawan hukum.
Pengantar
Dalam praktik, sering dijumpai perkara pembatalan perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak yang ada dalam perjanjian. Para pihak telah membuat dan terikat dalam perjanjian yang sah sesuai syarat sah suatu perjanjian. Namun, sebelum jangka waktu perjanjian berakhir, salah satu pihak dalam perjanjian tersebut melakukan pembatalan perjanjian secara sepihak. Ketika kasus tersebut diajukan ke pengadilan, sering diperdebatkan antara para pihak bahwa apakah kasus seperti itu masuk kategori telah melakukan perbuatan melawan hukum atau wanprestasi?
Pendapat Mahkamah Agung
Atas permasalahan hukum yang timbul dari pembatalan perjanjian secara sepihak, Mahkamah Agung (MA) sudah memiliki pendapat yang konsisten. MA berpendapat bahwa jika salah satu pihak yang telah mengadakan perjanjian dengan pihak lain, membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak, maka pihak yang telah membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak telah melakukan perbuatan melawan hukum. Pendapat MA ini tercantum dalam putusan Nomor 1051 K/Pdt/2014 (PT. CI vs PT. TJS) tanggal 12 November 2014, Dalam putusan tersebut, MA berpendapat:
Bahwa perbuatan Tergugat/Pemohon Kasasi yang telah membatalkan perjanjian yang dibuatnya dengan Penggugat/Termohon Kasasi secara sepihak tersebut dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Putusan ini kemudian diperkuat pada putusan Peninjauan Kembali nomor 580 PK/Pdt/2015. Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menegaskan bahwa penghentian perjanjian secara sepihak merupakan perbuatan melawan hukum:
Bahwa penghentian Perjanjian Kerjasama secara sepihak tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, oleh karena itu Tergugat harus membayar kerugian yang dialami Penggugat.
Sikap hukum MA tersebut dipertegaskan kembali melalui putusan nomor 28 K/Pdt/2016 tanggal 17 November 2016. Dalam putusan ini Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa sesuai fakta persidangan terbukti Penggugat adalah pelaksana proyek sesuai dengan Surat Perintah Mulai Kerja yang diterbitkan oleh Tergugat I, proyek mana dihentikan secara sepihak oleh Para Tergugat, sehingga benar para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Yurisprudensi
Sikap hukum sebagaimana di atas, di mana MA berpandangan bahwa pemutusan perjanjian secara sepihak termasuk dalam perbuatan melawan hukum, telah menjadi yurisprudensi tetap di Mahkamah Agung. Hal ini dikarenakan Mahkamah Agung telah secara konsisten menerapkan sikap hukumnya tersebut di seluruh putusan dengan permasalahan serupa sejak tahun 2014.
Berikut sejumlah daftar putusan Mahkamah Agung yang memutus dengan pertimbangan serupa: