Konsultasi hukum waris Islam: hak waris anak dari perkawinan siri
Jawaban:
Walaikumsalam Wr. Wb. Terima kasih atas pertanyaan Saudara terkait konsultasi hukum waris. Berdasarkan pertanyaan Saudara, intisari pertanyaannya adalah "Apakah anak yang dilahirkan dari perkawinan siri dapat ditetapkan sebagai ahli waris sehingga berhak mendapatkan bagian dari harta peninggalan pewaris ?"
Pertama-tama harus dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan perkawinan siri yaitu sebagai perkawinan yang dilaksanakan menurut syariat agama akan tetapi perkawinan tersebut tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama setempat. Sebagian orang menyebutnya dengan perkawinan yang tidak dicatatkan secara negara atau perkawinan tanpa buku nikah sehingga anak yang lahir dari perkawinan tersebut sebagian orang menyebutnya sebagai anak yang lahir diluar perkawinan.
Selanjutnya karena almarhum ayah Saudara beragama Islam, maka berlaku ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa: “Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum". Pasal ini menegaskan bahwa perkawinan siri almarhum ayah Saudara dengan seorang perempuan tersebut tidak diakui secara hukum sehingga akibat hukumnya adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan siri tidak berhak mewaris dengan alamrhum ayah Saudara. Hal ini juga telah ditegaskan dalam pasal Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa : “Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya” dan Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “bahwa anak yang lahir diluar Perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga pihak ibunya”. Dengan demikian bang DD tersebut berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut diatas tidak berhak menjadi ahli waris dari almarhum ayah Saudara, akan tetapi bang DD memiliki hubungan nasab dengan Ibunya dan berhak menjadi ahli waris dari Ibunya saja.
Namun demikian perlu diperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 yang dikeluarkan pada bulan Februari 2012 yang menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi: "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya" harus ditafsirkan sebagai berikut: “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Putusan MK No. 46 tersebut memberi kesempatan bagi anak yang dilahirkan diluar perkawinan untuk diakui secara hukum memiliki hubungan perdata dengan ayahnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sekretariat MK bekerja sama dengan UIN Malang menyatakan bahwa seorang anak yang dilahirkan diluar perkawinan dapat menjadi ahli waris dan memperoleh bagian waris dari ayahnya asalkan berhasil membuktikan bahwa anak tersebut memiliki hubungan darah dengan ayahnya dan ada penetapan dari pengadilan.
Selain daripada itu, anak luar kawin berkesempatan memperoleh hak waris dari almarhum ayah Saudara tersebut apabila berhasil menempuh upaya hukum pengesahan pernikahan almarhum Ayah dengan Ibunya tersebut atau disebut juga itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Artikel kami tentang permohonan istbat nikah di Pengadilan Agama dapat dibaca KLIK DISINI.
Demikian jawaban dari team advokatmedan.com. Terima kasih.